Syaibah, Kakek Sang Nabi

Nama aslinya adalah Syaibah. Dalam Bahasa Indonesia, Syaibah memiliki arti uban atau rambut putih. Dinamakan demikian karena memang ketika dia dilahirkan, ada rambut putih yang ada di kepalanya. Ibundanyalah yang menamakan demikian.

Ia kemudian hari dikenal dengan nama Abdul Muthalib (Budaknya Al Muthalib) bahkan nama kedua ini lebih dikenal dan hingga hari ini hanya sedikit umat Kanjeng Nabi yang mengetahui hal itu. Selalin nama aslinya, hal lain yang jarang dari umat Kanjeng Nabi mengetahuinya adalah bahwa beliau dilahirkan di Yatsrib (Madinah) bukan Mekah. Lantas bagaimana kemudian ia yang lahir di tanah Yatsrib dengan nama Syaibah menjadi Sayyid atau pemuka Quraisy di Mekah?

Asal Usul Tanah Kelahiran

Cerita bermula dari Ayahanda Syaibah yang tidak lain adalah buyutnya Kanjeng Nabi yang bernama Hasyim. Beliau adalah salah satu putra Abdu Manaf yang mendapat tugas nuntuk ngurusi Ka’bah dengan menyajikan makanan dan minuman untuk jamaah haji serta segala urusan yang berkaitan dengan Baitullah. Hingga suatu hari, ketika ia harus melakuan perjalanan ke Syam untuk berdagang, ia menitipkan tugas pelayanan Ka’bah ini kepada saudaranya yang bernama Al Muthalib.

Dan Al Muthalib inilah yang selama Hasyim melakukan perjalanan danganya ke Syam, menggantikan posisi dan kedudukan Hasyim. Menjamu para jamaah haji, memberkan mereka makanan dan minuman serta segara keperluan terkait Baitullah.

Dalam perjalanan ke Syam, Hasyim singgah di tanah Yatsrib tepatnya di Bani Najjar. Di wilayah ini dia menikahi salah satu perempuan Bani Najjar yang bernama Salma. Hingga akhirnya Hasyim harus melanjutkan perjalanan ke Syam, ia meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Salma akhirnya melahirkan putranya yang kemudian dinamakan dengan Syaibah. Sayangnya Salma harus melahirkan putra pertamanya ini tidak didampingi oleh suaminya karena Hasyim wafat pada perjalanan dagangnya ke Syam itu. Dan Salma menamakan putranya itu dengan Syaibah karena ada rambut putih yang ada di kepalanya.

Semantara itu, di Mekah tidak ada orang yang tahu kalau Hasyim punya istri di Bani Najjar bahkan meninggalkan seorang anak laki-laki. Jadilah Syaibah tumbuh di Yatsrib tepatnya di Bani Najjat tanpa mengetahui tentang saudara dan kerabatnya di Mekah. Hingga akhirnya pada umur tujuh tahun, Al Muthalib saudara dari Hasyim mengetahui kabar tentang saudaranya yang mempunyai istri bahkan sekarang anaknya sudah berumur tujuh tahun. Ia pun datang ke Bani Najjar untuk melihat kebenaran berita tersebut dan meminta putra saudara lelakinya itu untuk tinggal di Mekkah menggantikan posisi Ayahandanya yang wafat pada perjalanana dagang ke Syam.

Sesampainaya di Yatsrib, demi melihat anak sekecil itu yang sudah tidak punya Ayah, Al Muthalib merasakan sesak di dadanya dan matanya berkaca-kaca sedih. Ia memeluk anak kecil itu. Ia meminta pada ibundanya untuk membawa Syaibah ke Mekah menggantikan posisi Ayahandanya. Salma, seorang ibu sebagaimana kebanyakan ibu pada umumnya, menolak permintaan Al Muthalib. Alasanya tentu karena ia merasa Syaiabah adalah putra satu-satunya yang ia lahirkan dan ia besarkan sampai pada usia itu. Jika tiba-tiba ada orang yang memintanya tentu ia merasa sangat kehilangan.

Al Muthalib tidak mau kalah. Ia terus meminta dan bahkan menjelaskan, keberadaan Syaibah di Mekah bukanlah sesuatu yang menyedihkan. Justru keberadaannya di Mekah akan membuatnya mulia karena Ayahandanya dulu juga sangat dimuliakan oleh kaumnya. Dialah yang nantinya akan menempati posisi Ayahandanya sebagai pengurus Ka’bah, Baitullah tempat yang sangat dimuliakan oleh semua manusia. Tempat suci yang setiap tahun dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai penjuru dunia. Bukanlah kesedian yang akan didapatkan oleh Salma, justru kemulyaan dan kebanggaanlah yang akan ia dapatkan.

Setaleh mendengar penjelasan ini dari Al Muthalib, Salma mau menerima dan mempersilahkan putranya untuk tinggal di Mekah.

Dan ketika ia dibonceng Al Muthalib memasuki mekah di atas ontanya, orang-orang yang melihat anak kecil di belakang Al Muthalib ini mengira dia adalah budaknya. Mereka mengatakan, “Abdul Muthalib” dan berkali-kali Al Muthalib mengatakan, “Waihakum huwa ibnu akhi“, “Dia adalah putra dari saudaraku” dan sejak saat itu penyebutan dan penamaan Abdul Muthalib untuk Syaibah lebih dikenal dan terkenal daripada nama aslinya.

*Diambil dari kitab Rahiqul Makhtum

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *